Tanaman sawit (Elaeis guinnesis) dapat menghasilkan dua jenis minyak, yaitu minyak
sawit atau crude palm oil (CPO) dan
minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).
Walaupun berasal dari buah yang sama, minyak sawit mempunyai sifat kimia dan
kandungan gizi yang sangat berbeda dengan minyak inti sawit. Kedua jenis minyak
ini mempunyai karakter unik yang unggul dibandingkan dengan jenis minyak-minyak
yang lainnya. Namun demikian, pada kenyataannya, minyak sawit atau CPO lebih
berkembang dan dominan perannya daripada minyak inti sawit atau PKO.
Minyak
sawit mengandung sekitar 40% asam oleat yang merupakan asam lemak tak jenuh
tunggal, 10% asam linoleat (asam lemak tak jenuh ganda), dan sekitar 45% asam
palmitat dan 5% asam stearat yang keduanya merupakan asam lemak jenuh.
Komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang ini menyebabkan minyak
sawit yang stabil. Hal inilah yang menyebabkan minyak sawit cocok untuk
berbagai aplikasi untuk industri pangan. Contohnya saja, minyak sawit mempunyai
ketahanan panas yang baik, cocok untuk proses deep fat frying. Di samping itu,
produk pangan yang diformulasikan dengan menggunakan minyak sawit, keawetannya
akan lebih baik karena minyak sawit mempnyai kestabilan yang baik terhadap
proses ketengikan dan kerusakan oksidatif lainnya.
Minyak
sawit mempunyai kandungan gliserida padat yang cukup tinggi, sehingga bersifat
semi-solid. Hal ini menyebabkan minyak sawit bisa digunakan untuk berbagai
formulasi dalam bentuk alaminya, tanpa perlu proses hidrogenisasi. Proses
hidrogenasi inilah yang diidentifikasi sebagai penyebab terbentuknya asam lemak
trans yang tidak baik untuk kesehatan.
Minyak
sawit juga berpotensi sebagai ingridien fungsional untuk formulasi produk
pangan untuk kesehatan, karena secara alami minyak sawit mengandung antioksidan
yang tinggi, terutama tokoferol dan tokotrienol, mengandung karotenoid yang
tinggi (500-700 ppm), asam lemak esensial (asam lemak linoleat) dan tidak
mengandung lemak trans. Selain itu, minyak sawit juga berpotensi sebagai sumber
alami vitamin E, khususnya tokotrienol. Uniknya, tokotrienol pada minyak sawit
merupakan yang tertinggi kandungannya dibandingkan minyak nabati lainnya dan uniknya
lagi, tokotrienol ini tidak ditemukan pada minyak kedelai, minyak kanola,
minyak rape seed dan minyak bunga matahari.
Secara
alami, minyak sawit juga mengandung karotenoid yaitu pro-vitamin A yang sangat
tinggi. Karotenoid bisa berfungsi ganda, yaitu sebagai antioksidan dan sumber
vitamin A bagi tubuh. Namun, minyak goreng yang banyak beredar di pasaran telah
mengalami proses pemucatan dan deodorisasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan
kandungan karotenoidnya berkurang dengan tajam. Karena itulah, industri minyak
sawit perlu memodifikasi proses untuk mempertahankan karotenoid yang ada dan
sekaligus memperkenalkan ke konsumen minyak sawit kaya karotenoid yang masih
berwarna kemerahan.
Terakhir,
telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa minyak sawit dapat digunkan
sebagai ingridien pangan yang baik bagi kesehatan. Namun demikian, dalam
menyusun menu sehari-hari, perlu diperhatikan jumlah lemak yang ada pada semua
makanan dalam menu. Disarankan, untuk lemak hendaknya tidak menyumbang kalori
yang diperlukan lebih dari 30%. Artinya, jika konsumsi harian kita adalah 2100
kkal, maka kalori yang berasal dari lemak hendaknya tidak lebih dari 630 kkal
atau setara dengan 70 gram lemak. Telah dibuktikan bahwa minyak sawit jika
dikonsumsi sebagai bagian dari diet yang rendah lemak (diet dengan kadar lemak
<30% energi), bisa secara efektif menjaga kolestrol dan lipoprotein dalam
darah tetap dalam konsentrasi normal yang diinginkan. Artinya, pengaruh minyak
sawit terhadap kolestrol darah adalah netral, terutama jika dibandingkan dengan
minyak nabati lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar