Limbah air kelapa yang diolah sedemikian rupa ternyata dapat dijadikan bahan
baku kertas ramah lingkungan. Khaswar Syamsu menggeleng-gelengkan kepala seolah
tak terima dengan apa yang dilihatnya di layar komputer. Ilmuwan dari Pusat
Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB)
ini tercengang saat membuka kembali lembaran data kerusakan hutan di Indonesia.
Matanya terbelalak menatap data laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektare per
tahun dan diperkirakan akan meningkat 2 persen per tahun. Kondisi
"paru-paru dunia" yang berada di Indonesia ini semakin kritis di
tengah permintaan kayu di pasar domestik maupun internasional semakin
meningkat. "Kondisi lingkungan ini membuat saya prihatin," ucap pria
yang akrab disapa Iwan ini dengan suara bergetar. Celakanya, secara tidak sadar
kita semua turut andil dengan semakin menciutnya tutupan hutan tiap tahun.
Pasalnya, kertas yang kita gunakan untuk pelbagai keperluan itu terbuat dari
serat kayu.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), kebutuhan
kertas mencapai 383 juta ton pada 2007, diperkirakan meningkat 3,05 persen per
tahun. Itu berarti kebutuhan kayu bulat meningkat 1 juta - 2 juta hektare per
tahun untuk kertas. "Jadi kemajuan peradaban manusia itu ternyata
berkorelasi dengan kebutuhan kertas," kata Guru Besar Teknologi Industri
Pertanian IPB ini. Karena itu, mulai sekarang, kita semua perlu berhemat kertas
sebagai langkah kecil untuk turut menyelamatkan hutan. Iwan juga tengah putar
otak dalam beberapa tahun belakangan ini mencari material baru untuk membuat
kertas. Sebagian besar waktunya digunakan untuk meneliti di laboratorium dan
mengajar di Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. Untunglah, sejauh ini
kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil membuktikan selulosa mikrobial
berbahan baku utama air kelapa ternyata dapat dijadikan material alternatif
pembuat kertas. Selulosa mikrobial adalah jenis polimer berantai panjang
polisakarida karbohidrat dari beta-glukosa yang dihasilkan oleh jasad hidup
berukuran renik.
Selulosa mikrobial dapat
diperbarui (renewable), memunyai karakteristik yang unik, dan relatif lebih
murni dibandingkan dengan selulosa kayu. "Selulosa mikrobial 100 persen
murni dengan warna putih atau jernih," jelas pria yang menyandang gelar
doktor teknik kimia dari Universitas Queensland, Australia, ini. Sedangkan
selulosa kayu masih terikat lignin (polimer berbobot molekul besar yang
terdapat kayu). Untuk memisahkan lignin, perlu proses deligninfikasi
(menghancurkan lignin dari selulosa) dengan bahan kimia NaOH atau asam sulfat.
Belum lagi proses bleaching (pemutihan) menggunakan klor agar warnanya tidak
kecokelat-cokelatan.
Penggunaan bahan kimia dalam proses delignifikasi dan pemutihan
itu berpotensi menimbulkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan. Pun
dalam suatu industri, proses pengolahan itu membutuhkan energi cukup besar.
Selain itu, dalam suatu produksi kertas, penggunaan bahan kimia dan energi
tersebut adalah biaya. Keunggulan selulosa mikrobial lainnya, lanjut Kepala
Bioproses Divisi Rekayasa Bioproses dari Bahan Baru IPB, produktivitasnya
sangat tinggi. "Kalau menanam kayu di hutan itu bisa panen 6-8 tahun, dengan
mikrobial mulai dari masa inokulasi sampai panen hanya 4-6 hari," kata
dia. Dia juga mengalkulasi penggunaan 100 hektare selulosa mikrobial untuk
bahan baku kertas itu dapat mengganti 16,5 juta kayu. Artinya, jika kayu di
hutan tidak ditebang, maka bisa menyerap sekitar 2,3 juta ton karbondioksida
per tahun.
"Dengan begitu penggunaan selulosa mikrobial sebagai bahan
baku kertas turut menekan laju emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan
global," ujar Iwan sembari tersenyum bangga bisa memberikan solusi menekan
laju deforestasi.
Proses Pembuatan
Lalu, bagaimana cara membuat kertas berbahan selulosa mikrobial?
Iwan menjelaskan proses awal pembuatan sama dengan membuat nata de coco. Bahan
yang dibutuhkan di antaranya air kelapa, zink amonium sulfat (ZA), gula pasir,
cuka biang (CH3COOH), dan stater (cairan berisi biakan bakteri Acetobacter
xylinum). Pembuatan nata dilakukan dengan merebus air kelapa sampai mendidih
dan ditambahkan ZA, gula, dan cuka. Lalu, formula yang masih panas tersebut
dituangkan dalam wadah (loyang persegi) yang telah disterilkan dan bebas
microorganisme.
Setelah media air kelapa mencapai suhu kamar ditambahkan stater
Acetobacter Xylinum dan ditutup dengan koran. Inkubasi dilakukan selama 4 - 6
hari dalam ruang yang telah dikondisikan suhu, kelembapan, dan kebersihannya.
Walhasil diperoleh lempengan nata de coco atau selulosa mikrobial.
Langkah berikutnya, purifikasi
selulosa mikrobial dengan larutan kimia tertentu dalam suhu sekian derajat
Celsius selama beberapa menit. Selanjutnya selulosa mikrobial dihancurkan
dengan mesin Niagara Beater untuk membuat bubur kertas (pulp). Lalu bubur
tersebut dicetak sedemikian rupa hingga menghasilkan kertas. Bentuk kertas dari
selulosa mikrobial ini mirip kertas kalkir (kertas gambar) yang tembus pandang.
Sedangkan untuk membuat kertas putih, lanjut Iwan, maka perlu
selulosa mikrobial dicampurkan dengan selulosa kayu. Kedua serat tersebut
diuraikan dalam mesin Niagara Beater dan ditambahkan bahan aditif agar kertas
lebih padat, keras, licin, dan mulus.
"Berapa komposisi campuran antara selulosa mikrobial, serat
kayu, dan aditif itu menjadi paten kami. Karena penelitian ini masih dalam
proses paten, kami masih belum bisa berbagi," tambah Iwan sambil tertawa
lebar. Kemudian ramuan tersebut dicetak dalam lembaran dan dikeringkan. Maka,
jadilah kertas putih yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan.
Bagaimana kualitasnya? Dari hasil
uji sifat fisik, kertas berbahan selulosa mikrobial diketahui indeks tarik
0,011 kilonewton per gram, dan indeks sobek 1,7 - 7,4 kilonewton per gram.
Selanjutnya mari kita bandingkan dengan kertas dari selulosa kayu akasia
magnium yang memunyai indeks tarik 0,029 - 0,25 kilonewton per gram dan indeks
sobek 2,24 - 4,7 kilonewton per gram.
Dari dua parameter indeks tarik
dan sobek, kualitas kertas dari selulosa mikrobial ini memiliki kualitas tidak
jauh berbeda. Indeks tarik kertas berbahan selulosa mikrobial boleh dibilang
masih kalah ketimbang kertas dari serat kayu. Namun, indeks sobek kertas
berbahan selulosa mikrobial ternyata lebih kuat ketimbang kertas dari serat
kayu.