Sebuah studi dari Cina
memberikan secercah sinar bagi pengembangan minyak kelapa sebagai pengawet.
Salah satu produk turunannya adalah monolaurin yang merupakan gliserol monoester
dari asam laurat terindikasi memiliki potensi untuk digunakan sebagai pengawet.
Sebenarnya komponen
tersebut telah dikategorikan sebagai GRAS (Generally
Recognised as Safe) di Amerika Serikat sejak 1960, tetapi penggunaanya
dalam industri pangan masih terbatas. Benzoat, sorbat dan nitrit masih lebih umum
digunakan.
Salah satu keterbatasan
penggunaan monolaurin pada produk pangan adalah apabila digunakan lebih dari
500 µg/ml dapat menghasilkan aroma dan rasa “soapy” yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Walau demikian,
tim peneliti dari Zhejiang University berusaha untuk terus mengeksplorasi
potensi monolaurin. Dalam penelitian tersebut monolaurin juga diuji dengan
komponen lainnya, yaitu nisin, sodium laktat, sodium dehydroacetate, calcium propionate, dan EDTA. Sedangkan
patogen yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah E. coli, S. aureus, dan Bacillus
subtilis.
Dalam penelitiannya
yang dipublikasikan oleh Journal of Food
Science, diketahui bahwa konsentrasi minimum monolaurin untuk menghambat
pertumbuhan E. coli adalah 25 µg/ml,
12,5 µg/ml untuk menghambat S. aureus,
dan 30 µg/ml untk menghambat Bacillus
subtilis.
Ketika dikombinasikan
dengan nisin, ternyata komponen ini berpengaruh terhadap penghambatan ketiga
jenis bakteri tersebut. EDTA hanya berpengaruh terhadap penghambatan E. coli dan Bacillus subtilis. Sedangkan sodium laktat dan kalsium propionat
tidak berpengaruh apa pun.
Tim peneliti kemudian
juga berusaha mengetahui mekanisme dari monolaurin tersebut, termasuk pengaruh
komposisi produk pangan. Dan hasilnya, ternyata keefektifan komponen tersebut
akan menurun oleh keberadaan lemak dan pati.
Sumber : Majalah FoodReview (Referensi
Industri dan Teknologi Pangan Indonesia : Vol. IV, No. 12/hal 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar