Mei 17, 2013

Potensi Limbah CPO sebagai Pakan Ternak


Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah (Kalteng) Panusunan Siregar mengatakan, limbah Crude Palm Oil (CPO) dapat meningkatkan produktivitas usaha petani ternak jika diolah menjadi pakan ternak

“Potensinya besar dan dapat meningkatkan usaha peternakan jika limbah tersebut menjadi pakan ternak seperti di China, Thailand, Vietnam, Pakistan dan beberapa negara lainnya” katanya saat ditemui diruang kerjanya di Palangka Raya, Rabu

Dia mengatakan, ampas CPO yang terdiri dari Palm Kernel Meal (PKM) dan Palm Kernel Cake (PKC) dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan itu sangat bermutu untuk memicu pertumbuhan ternak.

Ampas CPO tersebut merupakan bagian kulit luar dari buah kelapa sawit sehingga bisa memberi nilai tambah bagi pengembangan peternakan di daerah perkebunan dan pedesaan di wilayah Kalteng.

Dia mengatakan, limbah CPO sebetulnya sangat disukai ternak sapi dan babi. Hal ini banyak dimanfaatkan pemerintah di negara penghasil CPO seperti Malaysia dan Tahiland.

“Pemerintah belum melirik ampas CPO ini meski potensinya besar, apalagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Kalteng mengembangkan usaha peternakan dan didukung pula perkembangan lahan perkebunan kelapa sawit cukup pesat,” katanya.

Ampas CPO yang dihasilkan perusahaan perkebunan terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor komoditas yang menjanjikan. Selama tahun 2012, ekspor ampas CPO dari Kalteng mampu menembus angka 236.000 dolar Amerika Serikat.

Meski intensitas ekspor ampas CPO tidak berlangsung kontinyu, namun nilai ekspor jenis ini memberi gambaran bahwa potensinya masih dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai penunjang salah satu indikator ekonomi lokal.

Ekspor ampas CPO sejak Januari-Februari 2013 nilai menembus angka 860.000 dolar AS, atau sekitar Rp7,74 miliar. Angka ini akan terus melonjak mengikuti perkembangan nilai ekspor CPO yang terus mengalami peningkatan cukup signifikan.

Negara tujuan ekspor ampas CPO antara lain China, Vietnam, Thailand dan Pakistan. Di memprediksi, negara tujuan ekspor ampas CPO tersebut kemungkinan diolah dengan baik dan dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

“Jika limbah ini bisa diolah di sini, buat apa kita ekspor keluar negeri. Kita olah saja untuk menjadi peternakan sehingga suatu saat nanti Kalteng dapat menjadi swasembada daging ternak,” katanya.

Mei 15, 2013

Bahan Bakar Biofuel CPO sebagai Alternatif Kelangkaan Solar


Liputan6.com, Jakarta : Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi menyarankan kalangan industri untuk menggunakan bahan bakar minyak biofuel atau biodiesel dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai solusi dari kelangkaan solar yang saat ini terjadi.

Pemakaian CPO olahan tersebut juga akan membantu petani dan menopang volume penjualan komoditas tersebut menyusul kian melorotnya harga dan permintaan di pasar dunia. "Saya ingin mengajak industri, pakailah CPO atau PPO (processed palm oil)," kata dia, Jumat (26/4/2013).

Menurut Bayu, CPO bisa dipakai sebagai substitusi solar yang kian langka. Sebab dari sisi kapasitas produksi, CPO hampir setara dengan solar. Seperti 1 liter CPO olahan sama dengan 1 liter solar.

Demikian pula dari sisi kemampuan menjalankan mesin kalori yang terjadi juga mendekati solar. "Ya paling beda sedikit, 0,8-0,7. Kalau mau dibawa lebih objektif silahkan bawa ke yang ahli, katakanlah perbandingannya 1:0,99," jelas Bayu.

Dia menuturkan, harga CPO per liter juga hampir sama dengan solar nonsubsidi, sekitar Rp 9000 per liter. Industri bisa menggunakan bahan bakar ini untuk motor yang bukan sebagai alat transportasi.

Dia yakin usulan dari Kemendag ini bisa diterima kalangan industri. Sebab sudah ada beberapa industri yang menggunakan olahan CPO sebagai bahan bakar mesin produksinya.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku industri terkait juga sudah menyepakati usulan tersebut. "Udah kita rekomendasikan, itu sudah diputuskan sebenarnya untuk dipakai," ungkap Bayu.

Kalau pun ada pelaku industri yang bersikukuh menggunakan solar, karena perhitungan lebih efisien daripada menggunakan CPO, Bayu tidak ambil pusing dan mengembalikan ke masing-masing pelaku. "Ya silakan saja, sekarang kan yang jadi masalah solarnya langka," tukas dia.


Prospek Industri Olahan Kakao Semakin Nikmat


[JAKARTA] Prospek industri hilir kakao semakin bergairah. Penerapan bea keluar (BK) kakao sejak April 2010 telah mengundang perusahaan asing menanamkan modalnya ke Indonesia. Di tahun ini, setidaknya dua perusahaan pengolah kakao mulai beroperasi, yakni Barry Callebout dari Amerika Serikat dan JB Cocoa asal Malaysia.


Selain dua perusahaan itu, pada awal 2014 nanti akan beroperasi pabrik olahan kakao, yakni Grup Cargill. "Sedangkan perusahaan yang sudah ada seperti BT Cocoa dan Guan Chong juga berniat menambah kapasitas penyerapan biji kakao," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman, Selasa (12/2). Sedangkan kapasitas terpasang Barry Callebout dan JB Cocoa masing-masing 30.000 ton per tahun. Sementara kapasitas terpasang Cargill akan mencapai 60.000 ton per tahun. Tahun ini, BT Cocoa dan Guan Chong juga berniat menambah kapasitas penyerapan kakao seberat 20.000 ton.

Tahun ini, AIKI memproyeksikan produksi kakao olahan Indonesia 450.000 ton, naik 28,5% dibanding tahun lalu. Ekspor kakao olahan 2013 juga diprediksi naik menjadi 360.000 ton dibanding 2012 sekitar 280.000 ton. Piter khawatir, bila kemajuan di sektor hilir tidak didukung suplai bahan baku mencukupi, tidak mustahil pada 2014 Indonesia menjadi negara importir biji kakao. AIKI menghitung, kapasitas terpasang pabrik pengolah kakao Indonesia pada 2014 mencapai 510.000 ton. Padahal produksi biji kakao dalam negeri rata-rata hanya 500.000 ton setiap tahun.

Harga biji kakao dunia saat ini relatif stabil di kisaran US$ 2.200 per ton. Sementara harga kakao powder di level US$ 2.800 per ton, turun 44% dibanding tahun lalu. Adapun Harga kakao butter naik 105% menjadi US$ 4.500 per ton. Di saat industri hilir berdenyut, kinerja ekspor biji kakao Indonesia terus menurun. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) memproyeksikan ekspor biji kakao tahun ini tak lebih dari 100.000 ton, atau turun 28% dibanding proyeksi tahun lalu.

Firman Bakri, Sekretaris Eksekutif Askindo mengatakan, penurunan volume ekspor biji kakao lantaran pabrik pengolahan kakao asing mulai beroperasi pada tahun ini. "Penyerapan kakao di dalam negeri menjadi meningkat," kata dia.

Mei 12, 2013

Selembar Kertas Dari Air Kelapa


Limbah air kelapa yang diolah sedemikian rupa ternyata dapat dijadikan bahan baku kertas ramah lingkungan. Khaswar Syamsu menggeleng-gelengkan kepala seolah tak terima dengan apa yang dilihatnya di layar komputer. Ilmuwan dari Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tercengang saat membuka kembali lembaran data kerusakan hutan di Indonesia. Matanya terbelalak menatap data laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektare per tahun dan diperkirakan akan meningkat 2 persen per tahun. Kondisi "paru-paru dunia" yang berada di Indonesia ini semakin kritis di tengah permintaan kayu di pasar domestik maupun internasional semakin meningkat. "Kondisi lingkungan ini membuat saya prihatin," ucap pria yang akrab disapa Iwan ini dengan suara bergetar. Celakanya, secara tidak sadar kita semua turut andil dengan semakin menciutnya tutupan hutan tiap tahun. Pasalnya, kertas yang kita gunakan untuk pelbagai keperluan itu terbuat dari serat kayu.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), kebutuhan kertas mencapai 383 juta ton pada 2007, diperkirakan meningkat 3,05 persen per tahun. Itu berarti kebutuhan kayu bulat meningkat 1 juta - 2 juta hektare per tahun untuk kertas. "Jadi kemajuan peradaban manusia itu ternyata berkorelasi dengan kebutuhan kertas," kata Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB ini. Karena itu, mulai sekarang, kita semua perlu berhemat kertas sebagai langkah kecil untuk turut menyelamatkan hutan. Iwan juga tengah putar otak dalam beberapa tahun belakangan ini mencari material baru untuk membuat kertas. Sebagian besar waktunya digunakan untuk meneliti di laboratorium dan mengajar di Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. Untunglah, sejauh ini kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil membuktikan selulosa mikrobial berbahan baku utama air kelapa ternyata dapat dijadikan material alternatif pembuat kertas. Selulosa mikrobial adalah jenis polimer berantai panjang polisakarida karbohidrat dari beta-glukosa yang dihasilkan oleh jasad hidup berukuran renik.
Selulosa mikrobial dapat diperbarui (renewable), memunyai karakteristik yang unik, dan relatif lebih murni dibandingkan dengan selulosa kayu. "Selulosa mikrobial 100 persen murni dengan warna putih atau jernih," jelas pria yang menyandang gelar doktor teknik kimia dari Universitas Queensland, Australia, ini. Sedangkan selulosa kayu masih terikat lignin (polimer berbobot molekul besar yang terdapat kayu). Untuk memisahkan lignin, perlu proses deligninfikasi (menghancurkan lignin dari selulosa) dengan bahan kimia NaOH atau asam sulfat. Belum lagi proses bleaching (pemutihan) menggunakan klor agar warnanya tidak kecokelat-cokelatan.

Penggunaan bahan kimia dalam proses delignifikasi dan pemutihan itu berpotensi menimbulkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan. Pun dalam suatu industri, proses pengolahan itu membutuhkan energi cukup besar. Selain itu, dalam suatu produksi kertas, penggunaan bahan kimia dan energi tersebut adalah biaya. Keunggulan selulosa mikrobial lainnya, lanjut Kepala Bioproses Divisi Rekayasa Bioproses dari Bahan Baru IPB, produktivitasnya sangat tinggi. "Kalau menanam kayu di hutan itu bisa panen 6-8 tahun, dengan mikrobial mulai dari masa inokulasi sampai panen hanya 4-6 hari," kata dia. Dia juga mengalkulasi penggunaan 100 hektare selulosa mikrobial untuk bahan baku kertas itu dapat mengganti 16,5 juta kayu. Artinya, jika kayu di hutan tidak ditebang, maka bisa menyerap sekitar 2,3 juta ton karbondioksida per tahun. 

"Dengan begitu penggunaan selulosa mikrobial sebagai bahan baku kertas turut menekan laju emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global," ujar Iwan sembari tersenyum bangga bisa memberikan solusi menekan laju deforestasi.


Proses Pembuatan
Lalu, bagaimana cara membuat kertas berbahan selulosa mikrobial? Iwan menjelaskan proses awal pembuatan sama dengan membuat nata de coco. Bahan yang dibutuhkan di antaranya air kelapa, zink amonium sulfat (ZA), gula pasir, cuka biang (CH3COOH), dan stater (cairan berisi biakan bakteri Acetobacter xylinum). Pembuatan nata dilakukan dengan merebus air kelapa sampai mendidih dan ditambahkan ZA, gula, dan cuka. Lalu, formula yang masih panas tersebut dituangkan dalam wadah (loyang persegi) yang telah disterilkan dan bebas microorganisme. 

Setelah media air kelapa mencapai suhu kamar ditambahkan stater Acetobacter Xylinum dan ditutup dengan koran. Inkubasi dilakukan selama 4 - 6 hari dalam ruang yang telah dikondisikan suhu, kelembapan, dan kebersihannya. Walhasil diperoleh lempengan nata de coco atau selulosa mikrobial.

Langkah berikutnya, purifikasi selulosa mikrobial dengan larutan kimia tertentu dalam suhu sekian derajat Celsius selama beberapa menit. Selanjutnya selulosa mikrobial dihancurkan dengan mesin Niagara Beater untuk membuat bubur kertas (pulp). Lalu bubur tersebut dicetak sedemikian rupa hingga menghasilkan kertas. Bentuk kertas dari selulosa mikrobial ini mirip kertas kalkir (kertas gambar) yang tembus pandang.

Sedangkan untuk membuat kertas putih, lanjut Iwan, maka perlu selulosa mikrobial dicampurkan dengan selulosa kayu. Kedua serat tersebut diuraikan dalam mesin Niagara Beater dan ditambahkan bahan aditif agar kertas lebih padat, keras, licin, dan mulus. 

"Berapa komposisi campuran antara selulosa mikrobial, serat kayu, dan aditif itu menjadi paten kami. Karena penelitian ini masih dalam proses paten, kami masih belum bisa berbagi," tambah Iwan sambil tertawa lebar. Kemudian ramuan tersebut dicetak dalam lembaran dan dikeringkan. Maka, jadilah kertas putih yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan.

Bagaimana kualitasnya? Dari hasil uji sifat fisik, kertas berbahan selulosa mikrobial diketahui indeks tarik 0,011 kilonewton per gram, dan indeks sobek 1,7 - 7,4 kilonewton per gram. Selanjutnya mari kita bandingkan dengan kertas dari selulosa kayu akasia magnium yang memunyai indeks tarik 0,029 - 0,25 kilonewton per gram dan indeks sobek 2,24 - 4,7 kilonewton per gram.
Dari dua parameter indeks tarik dan sobek, kualitas kertas dari selulosa mikrobial ini memiliki kualitas tidak jauh berbeda. Indeks tarik kertas berbahan selulosa mikrobial boleh dibilang masih kalah ketimbang kertas dari serat kayu. Namun, indeks sobek kertas berbahan selulosa mikrobial ternyata lebih kuat ketimbang kertas dari serat kayu.

Mei 04, 2013

TEKNOLOGI EKSTRAKSI REMPAH DAN FITOFARMAKA


Tumbuhan memiliki keanekaragaman senyawa organik. Keberadaan rasa, fungsi energi, fungsi khasiat dan lainnya dari suatu bahan disebabkan adanya senyawa kimia yang bertanggungjawab terhadap fungsi tersebut. Di dalam tumbuhan, senyawa-senyawa ini dibentuk dan diuraikan melalui proses metabolisme, yaitu metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Contoh senyawa metabolit primer yaitu protein, karbohidrat, lipida dan asam nukleat. Contoh senyawa metabolit sekunder, yaitu alkaloid, terpenoid, flavonoid, tanin dan saponin. Hasil dari metabolit  sekunder inilah yang memiliki fungsi sebagai senyawa berkhasiat obat. Contohnya flavonoid pada alpukat yang memiliki efek anti hipertensi, tanin dalam daun jambu biji yang memiliki efek anti diare dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dalam pengobatan tradisional, digunakan tanaman utuh atau bagian dari tanaman baik dalam bentuk serbuk, rebusan, atau ekstrak (tanaman tunggal atau campuran tanaman boleh digunakan). Pada obat modern, beberapa obat berasal dari tanaman kebanyakn digunakan sebagai senyawa murni dan beberapa merupakan ekstrak atau tingtur terstandarisasi. Untuk mendapatkan senyawa murni dari senyawa aktif tanaman berkhasiat obat, diperlukan teknologi pemisahan ekstraksi yang tepat. Metode ekstraksi yang biasa digunakan ada 2 jenis, yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Hal-hal yang berpengaruh dalam ekstraksi, yaitu jenis pelarut yang digunakan, volume pelarut, temperatur, ukuran partikel, pengadukan dan lamanya waktu ekstraksi yang dilakukan.

Estraksi Soxhlet
Dalam skala laboratorium, ekstraksi padat-cair dengan pemanasan yang sering digunakan adalah ekstraksi soxhlet. Pada ekstraktor soxhlet, pelarut dipanaskan dalam labu didih sehingga menghasilkan uap. Uap tersebut kemudian masuk ke dalam kondensor melalui pipa kecil dan keluar dalam bentuk fasa cair. Kemudian, pelarut masuk ke dalam selongsong yang berisi padatan (sampel). Pelarut akan membasahi sampel dan tertahan di dalam selongsong sampai tinggi pelarut dalam pipa sifon sama tingginya dengan tinggi pelarut selongsong. Kemudian pelarut seluruhnya akan mengalir masuk kembali ke dalam labu didih dan kembali diuapkan. Proses ini akan berlangsung secara continyu sampai seluruh zat berhasil diekstrak.



Maserasi
Metode ekstraksi dengan maserasi ini digunakan untuk mengestraksi zat yang mudah rusak dengan pemanasan. Prinsip ekstraksi dengan metode ini yaitu dengan cara merendam sampel dengan pelarut dengan atau tanpa pengadukan pada suhu ruang. Metode ini sangat menguntungkan dalam isolasi bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan proses ekstraksi akan sempurna karena dapat diatur berdasarkan lamanya waktu perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut yang tepat akan memberikan efektifitas yang tinggi pada proses maserasi.

Perkolasi
Perkolasi merupakan proses ekstraksi dengan cara melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik yang diekstrak. Metode ekstraksi dengan perkolasi ini hanya efektif untuk jenis bahan dengan tingkat kelarutan yang sangat tinggi. Artinya, efektifitas proses ini hanya akan lebih besar jika senyawa organik yang ada dalam bahan atau sampel sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan.


Sumber : Setyaningsih D, et al. 2013. Buku Penuntun Praktikum Teknologi Minyak Atsiri, Rempah dan Fitofarmaka. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.